Sabtu, 21 Juni 2014

Euryhaline, Stenohaline dan Anadromous, Catadromous



Euryhaline, Stenohaline dan Anadromous, Catadromous
            Salinitas merupakan ciri yang membedakan antara air laut dan air tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat euryhaline dan stenohaline.
Euryhaline adalah organisme yang mampu hidup pada kisaran luas atau juga dapat diartikan sebagai organisme yang mampu beradaptasi dengan berbagai salinitas dan dapat hidup dalam air tawar, air laut dan air payau. Mujair merupakan contoh dari spesies ikan yang brsifat euryhaline yakni dapat hidup pada salinitas 0-35 ppt. setiap organisme mempunyai kisaran untuk tumbuh optimal, apabila kurang atau lebih maka organisme tersebut masih tetap hidup tetapi petumbuhannya lambat. Organisme euryhaline biasanya ditemukan di habitat seperti muara dan kolam pasang yang salinitas perubahannya teratur dan beberapa bermigrasi antara lingkungan air tawar dan air laut. Spesies euryhaline juga dapat beradaptasi dengan kondisi perairan estuaria dan ekosistem mangrove. Contoh dari spesies ikan yang bersifat euryhaline adalah bandeng, mujair,  kakap, nila merah, udang galah dll.
Stenohaline adalah kebalikan dari euryhaline yaitu organisme yang hidup pada kisaran salinitas yang sempit. Misalnya ikan yang hidup di air tawar apabila dipindah ke lingkungan dengan salinitas yang lebih tinggi (laut) akan mati dan begitupula dengan sebaliknya ikan yang biasanya hidup di salinitas tinggi (laut) maka akan mati bila hidup di lingkungan dengan salinitas yang rendah (tawar). Contohnya: karper, tawes, ekor kuning, red sea sream dll.
            Ikan diadromous menggambarkan spesies yang menghabiskan sebagian besar hidup mereka di air tawar dan air lautbagian dalam. Ada 2 kategori ikan diadromous, yaitu anadromous dan catadromous.
Anadromous adalah spesies ikan yang menghabiskan hidupnya untuk tumbuh dewasa di laut dan berpindah atau mencari air tawar untuk melakukan pemijahan atau bertelur. Pada sebagian spesies setelah melakukan pemijahan, ikan-ikan tersebut akan mati. Untuk beradaptasi dengan  lingkungan yang baru (air tawar), ikan-ikan ini meningkatkan minum mereka dan mengeluarkan urine yang pekat dan juga mengluarkan ion-ion garam melalui saluran ekskresi dan pada lapisan mulut. Contoh: salmon.
Catadromous adalah kebalikan dari spesies anadromous yaitu spesies ikan yang menghabiskan hidupnya untuk tumbuh dewasa di air tawar dan berpindah atau mencari air laut  untuk melakukan pemijahan atau bertelur. Sebagaimana spesies anadromous, spesies  catadromous juga beradaptasi terhadap lingkungan yang baru (air laut) yakni membuang kelebihan air dalam jumlah yang besar, dalam bntuk urine yang diencerkan dan spesies ini juga aktif mengambil ion-ion (dalam laut) melalui insang dan kulit. Contohnya: sidat dan udang galah.
            Spesies anadromous dan catadromous dijuluki dengan ikan migrasi karena kebiasaannya pindah dari lingkungan air laut ke air tawar atau sebaliknya. Ikan biasanya bermigrasi karena pertumbuhan ataupun kebutuhan reproduksi. Ikan diadromous ini juga bersifat euryhaline karena kemampuannya dapat hidup di lingkungan salinitas tinggi maupun rendah.

REPRODUKSI ASEKSUAL

REPRODUKSI ASEKSUAL


Reproduksi Aseksual merupakan suatu proses dimana tidak adanya penggabungan gamet haploid (telur dan spermatozoa) dari sepasang induk untuk membantu zygote diploid (fertilisasi telur).
Berikut ini terdapat beberapa macam  reproduksi aseksual, yaitu:
·         Monogini
Monogini merupakan reproduksi vegetatif dengan  pembentukan organisme oleh induknya tanpa mengadakan sel-sel kelamin atau gamet karena organisme baru yang diadakan berasal dari satu induk saja.
Pada organisme yang terdiri satu seks, hasil pembelahan dapat menjadi 2 individu baru atau lebih. Mula-mula nuklea membelah, kemudian diikuti oleh pembelahan nucleus dan diikuti oleh pembelahan sitoplasma yang ada di dalam tubuh. Contohnya: Trypanosoma
·         Amphygony
Amphygony merupakan reproduksi generatif dengan cara perkembangbiakkan dengan pertemuan 2 macam sel kelamin atau gamet atau gonocyte. Kedua gonocyte itu masing-masing disebut sel kelamin jantan atau bersifat jantan dan sel telur atau sejenisnya.
Berdasarkkan bentuk dan besarnya gamet, dibedakan menjadi 3, yaitu:
a.       Isogami, bila gamet yang bersatu sama besarnya dan sama bentuknya. Contoh: protista
b.      Anisogami, bila gamet yang bersatu tidak sam besarnya, tetapi tidak sam bentuknya. Contoh: Flagellata
c.       Oogami, bila gamet yang bersatu tidak sama besarnya dan tidak sama bentuknya. Salah satu gamet kecil (spermatozoa) dan aktif bergerak dan salah satu gamet besar dan tidak aktif bergerak (ovum).
·         Metagenesis
Metagenesis adalah suatu proses pergiliran hidup yaitu antara fase seksual dan fase aseksual. Hewan dan tumbuhan yang mengalami metagenesis akan mengalami dua fase kehidupan, yaitu fase kehidupan yang bereproduksi secara seksual dan fase kehidupan yang bereproduksi secara aseksual. Beberapa contoh tumbuhan yang mengalami metagenesis adalah tumbuhan paku, lumut. Sedangkan hewan yang mengalami metagenesis yaitu Obelia dan Aurelia.
Pada proses metagenesis pembentukan gamet jantan berlangsung di dalam antheridium dan gamet betina di dalam arkegonium. Jika gamet jantan membuahi gamet betina, maka akan terbentuk zigot. Zigot tumbuh menjadi individu yang menghasilkan spora, generasi ini disebut fase vegetatif (aseksual) atau sporofit. Spora yang jatuh di tempat sesuai akan tumbuh menjadi individu baru yang menghasilkan gamet. Karena menghasilkan gamet, maka generasi ini disebut fase generatif (seksual) atau gametofit.
·         Parthenogenesis
Parthenogenesis adalah perkembangan individu muda tanpa melalui fertilisasi. Suatu kondisi yang disebut partenogenesisi atau lebih tepatnya gynogenesis) terjadi pada ikan tropic, seperti Poecilin formosa. Perkawinan dengan individu jantan kurang diperlukan, tetapi sperma hanya berfungsi satu dari dua fungsinya yakni merangsang telur untuk berkembang, dan sperma tersebut tidak mengambil bagian dalam hereditas. Individu muda yang dihasilkan selalu betina tanpa sedikitpun mempunyai sifat seperti induk jantan, ini berarti bahwa sifatnya sepenuhnya bergantung genotype induk betina. Biasanya reproduksi aseksual parthegenosis ini terjadi pada tumbuhan tingkat rendah,  kutu daun, lebah, kutu air, semut dan dan jenis invertebrate lainnya.
Dalam beberapa organisme, parthegenosis terjadi pada kondisi tertentu. Tergantung dari kondisi lingkungan tempat organisme itu hidup, jika organisme tersebut merasa cocok dengan kondisi lingkungannya maka organisme tersebut memilih melakukan reproduksi secara aseksual karena lebih cepat menghasilkan kerturunan. Akan tetapi organisme tersebut juga dapat melakukan reproduksi secara seksual.
Parthenogenesis sendiri mempunyai 2 tipe, yaitu:
a.       Androgenesis: teknik pembentukan individu baru dimana hanya berasal dari induk jantan saja yang memberi konstribusi. Sel sperma mengaktifkan sel telur dan mengembangkannya sendiri tanpa konstribusi dari sel telur
b.      Gynogenesis: sel sperma selalu merangsang pertumbuhan telur akan tetapi tidak memberi konstribusi sel sperma untuk telur tersebut. sehingga individu yang dihasilkan selalu berkelamin betina  dan tidak memiliki persamaan terhadap genotip jantan.
·         Pedogenesis
Pedogenesis merupakan suatu proses reproduksi secara aseksual yang bereproduksi saat organisme itu masih embrio atau larva.   

ANATOMI, PROSES SPERMATOGENESIS OOGENEIS, DAN TINGKAH LAKU PERKAWINAN PADA UDANG



ANATOMI, PROSES SPERMATOGENESIS OOGENEIS, DAN TINGKAH LAKU PERKAWINAN PADA UDANG


Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu jenis crustacean yang banyak dipelihara oleh petambak di Indonesia karena komoditas tersebut memberikan banyak keuntungan. Seperti pendapat Mahasri, et al., (2008), udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan primadona komunitas non migas dari sector perikanan. Usaha budidaya udang ini masih mempunyai prospek yang cerah dan merupakan andalan dari sector perikanan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam budidaya udang antara lain kualitas air, mutu benih, pakan, penerapan teknologi dan penyakit.
Anatomi Reproduksi Udang Windu (Penaeus monodon)
         Seperti pada jenis crustacean yang lain anatomi  udang windu (penaeus monodon) terbagi menjadi dua bagian yaitu gabungan kepala dan dada yang biasa disebut cepalotorax dan gabungan perut dan ekor yang biasa disebut abdomen.
Dari gambar dibawah dapat dilihat bahwa organ reproduksi eksternal pada udang betina terdapat satu telikum yang terletak diantara kaki jalan keempat dan kelima, pada bagian telikum terdapat reseptakel seminar yang berfungsi untuk menyimpan sperma setelah terjadi kopulasi. Sedangkan pada  organ reproduksi eksternal udang jantan terdapat petasma yang terletak pada kaki renang dan sepasang apendik masculina yang terletak pada kaki renang kedua.

Sedangkan organ reproduksi internal pada udang jantan terdiri dari sepasang testes, sepasang vas deferens dan sepasang terminal ampul. Sedangkan organ eksternal pada udang betina adalah sepasang ovarium dan sepasang saluran telur, yang juga membantu dalam proses fertilisasi.

Gambar 1. Alat kelamin jantan (pentasma) dan betina (telikum)






(Novendi, 2001)
           





(Paula, 1998 dalam Pratiwi, 2008)
Menurut Pratiwi (2008), bahwa alat kelamin utama disebut gonad terdapat di dalam bagian cephalotorax. Pada udang jantan dewasa, gonad akan menjadi testis yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Pada udang betina, gonad akan menjadi indung telur (ovarium), yang berfungsi menghasilkan telur.
         Udang jantan dan betina dapat dibedakan melalui organ reproduksinya. Tanda yang paling mudah dilihat adalah ada tidaknya telikum yang berfungi untuk menyimpan spermatofore dari udang jantan ke udang betina.
Proses Spermatogenesis dan Oogenesis pada Udang Windu (Penaeus monodon)
Proses pembentukan spermatogenesis dan oogenesis pada udang sebenarnya sama dengan pembentukan spermatogenesis dan oogenesis pada ikan, perbedaanya sperma pada ikan jantan masuk ke dalam lubang genital pada ikan betina. Sedangkan pada udang, sperma pada udang jantan disimpan oleh udang betina pada tellicium, kemudian menyemprotkan telur ke perairan dan sperma juga lepas dari tellicium yang selanjutnya sperma dan telur mencari pasangannya.
Proses pembentukan spermatogenesis pada udang adalah perkembangan gamet jantan dari spermatogonium menjadi spermatozoa menjadi dua tahap, yakni spermatogenesis dan spermiogenesis. Awal spermatogenesis ditandai dengan berkembangbiaknya spermatogonia melalui pembelahan mitosis, untuk memasuki tahap spermatosit primer. Selanjutnya terjadi pembelahan meiosis, dimulai dengan kromosom berpasangan, yang diikuti dengan duplikasi membentuk tetraploid (4n). satu spermatosit primer tetraploid membentuk dua spermatosit sekunder menjadi diploid (2n). satu spermatosit sekunder membelah menjadi haploid, yang biasa disebut sperma.
Sedangkan pembentukan ovari sendiri menurut Noventi (2001) adalah komponen struktur utama ovari adalah dinding ovary, epithelium folikel, dan terusan dinding ovari yang meliputi pembuluh darah dan sel-sel otot (Ahmad, et al., 1988). Oogonia dihasilkan terus-menerus secara mitosis dari epitalium muda pada masa reproduktif udang betina (Adiyodi dan Adiyodi, 1970). Oogenia memasuki meosis berubah menjadi oosit, mulai pembentukan kuning telur yang dikelilingi sel-sel folikular.

Gambar 2. Perkembangan ovari udang windu (Penaeus monodon)













(Noventi, 2001 dalam Primavera, 1983)
Pada gambar diatas, dapat diketahui bahwa kematangan telur pada udang khususnya udang windu (Penaeus monodon) dapat dilihat dari kondisi fisik tubuhnya. Komponen kuning telur pada crustacean adalah lipoglikoprotein yang sangat padat yang tersusun dari protein dan karbohidrat, akan tetapi penumpukan kuning telur pada vitolegenesis tahap pertama sangat lambat dan sangat cepat pada tahap kedua.
Telur udang windu mengandung banyak kuning telur sehingga proses pembelahan tidak dapat terlihat dengan jelas. Menurut Nurdjana (1986) memberikan keterangan bahwa pembelahan pertaman membagi isi telur menjadi dua bagian, pembelahan kedua mebagi menjadi empat bagian, pembelahan selanjutnya menghasilkan kelompok sel yang menempati rongga sel yang disebut morula. Morula kemudian berkembang menjadi blastula, jika blastula mencapai 63 sel maka bakal nauplius berkembang menjadi grastula yang selanjutnya grastula berkembang sangat cepat yang membentuk lapisan luar pada mudigah (bakal nauplius) dan dari kumpulan sel tersebut mudigah terbentuk.
Ovarium yang telah matang akan menghasilkan telur yang banyak. Telur akan merekat pada ovarium dan terangkai seperti buah anggur yang meluas sampai ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan, pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lendir yang dinamakan kantung sperma (spermatophora). Spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina dan disimpan terus disana hingga saat peneluran dengan bantuan petasma. Apabila udang betina bertelur, spermatophora akan pecah dan sel-sel sperma akan membuahi telur di luar badan induknya.
Perilaku udang saat perkawinan
Biasanya pada udang windu saat akan melakukan proses perkawinan, udang tersebut akan melakukan pergantian kulit (moulting), nafsu makan sangat tinggi dan agresif pada udang betina.
Menurut Primavera (1979) dalam Darwis (2011), bahwa tingkah laku udang saat perkawinan adalah sebagai berikut:
a.       Fase pertama, udang jantan berenang sejajar dengan udang betina dari dasar sampai ketinggian 20-30 cm
b.      Fase kedua, udang jantan membalik ke bagian bawah (ventral) pada betina
c.       Fase ketiga, udang membalikkan tubuhnya kembali secara tegak lurus terhadap udang betina, dan melengkungkan tubuhnya melingkari betina. Kepala dan ekornya serempak bertemu dan menjepit tubuh udang dengan erat. Kemudian udang jantan melepaskan diri dari udang betina dan berenang menjauh.
Sedangkan menurut Baliqu (2011), menyatakan bahwa perkawinan pada udang terjadi sebelum dan sesudah matahari terbenam, dan terjadi antara 3-16 detik, dapat dirinci dalam 4 fase, yaitu:
a.       Pendekatan: Biasanya udang jantan secara cepat mendekati udang betina dari samping dengan berjalan di dasar.
b.      Perangkakan: Setelah mendekati betina dari samping, udang jantan merangkak dengan kepala di bawah ekor udang betina. Dengan pendekatan tersebut, akibatnya udang bergerak.
c.       Pengejaran: Setelah jantan merangkak di bawah ekor udang betina, udang betina mulai berenang cepat. Udang jantan kemudian mengejar udang betina dan berenang dengan posisi pararel. Seekor udang betina bisa dikejar atau diburu oleh dua sampai tiga udang jantan sekaligus. Udang betina yang telah matang telur akan diburu lebih sering daripada yang tidak matang telur. Udang betina matang telur tersebut akan mengeluarkan pheromone pertama yaitu chase-stimulating pheromone yang disalurkan lewat air dan merangsang udang jantan untuk memburunya. Pheromone kedua adalah malting-stimulating pheromone, yang dikeluarkan oleh induk betina yang matang telur penuh dan hanya singkat serta terjadi karena kontak fisik.
d.      Perkawinan atau mating: setelah pengejaran, udang jantan membalikkan tubuh kea rah ventral udang betina dan mencekeram betina dengan kaki jalan. Posisi ventral dengan ventral terjadi 1 sampai 2 detik, ketika udang jantan mengeluarkan spermatophore dari petasma. Spermatophore diletakkan pada telikum betina setelah mating sempurna.
Setelah terjadi mating, satu atau dua jam kemudian induk betina akan segera memijah atau spawning. Proses spawning biasanya sekitar dua menit. Selama itu udang betina berenang perlahan pada kolom air dan menyemprotkan seluruh telur dari ovary. Selama telur disemprotkan, udang betina dengan cepat akan mencampur telur dan sperma yang melekat pada telikum dengan menggunakan kaki renang. Dengan demikian telur akan terbuahi.



























Daftar Pustaka
Baliqu. 2011. Reproduksi Udang. http://bali-baliqu.blogspot.com/2011/09/reproduksiudang.html diakses pada tanggal 14 Oktober 2013 pukul 11.45
Darwis, Mauludin. 2011. Dunia Ikan. http:// jeniusfish. blogspot.com/2011/04/fisiologi-udang-windu.html. diakses pada tanggal 14 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB
Mahasri, Gunanti., L. Raya., A. S. Mubarak dan B. Irawan. 2008. Gambaran Patologi Insang dan Kulit Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) yang Terserang Ciliata Patogen dari Famili Vorticellidae (Zoothamnium sp.). Berkala Ilmiah Perikanan. Vol. 3(1): 95-103
Noventi, Deasy Mawar. 2001. Penentuan Dosis Optimum Dopamin Untuk Menunda Pematangan Gonad Induk Udang Windu Afkir. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor: Bogor
Pratiwi, Rianta. 2008. Aspek Biologi Udang Ekonomis Penting. Oseana. Vol. 33 (2): 15-24